Meskipun status kemitraan memberikan kebebasan kepada pekerja untuk menentukan waktu kerja mereka, hubungan yang terlalu longgar ini menciptakan ketimpangan kekuasaan yang besar antara perusahaan dan mitra. Perusahaan dapat sewaktu-waktu mengubah kebijakan terkait bonus atau tarif tanpa melibatkan pekerja dalam negosiasi.
Hal ini sering kali merugikan mitra yang tidak memiliki alternatif selain menerima perubahan tersebut atau meninggalkan pekerjaan mereka. Sebagai contoh, hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) menunjukkan bahwa lebih dari 38% pekerja informal di sektor transportasi daring bekerja lebih dari 60 jam per minggu. Beban kerja ini sangat jauh dari standar ideal, bahkan menimbulkan risiko kesehatan serius bagi pekerja. Studi dari Washington Center for Equitable Growth juga menyatakan bahwa bekerja lebih dari 40 jam per minggu dapat berdampak buruk pada kesehatan fisik, mental, dan produktivitas jangka panjang.
Salah satu permasalahan utama dalam ekonomi gig adalah minimnya jaminan sosial bagi pekerja. Karena status mereka sebagai mitra, perusahaan tidak diwajibkan mendaftarkan mereka ke dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan seperti yang diterapkan pada pekerja formal. Akibatnya, jika terjadi kecelakaan kerja, pekerja harus menanggung sendiri biaya pengobatan tanpa bantuan dari perusahaan. Selain itu, tidak ada perlindungan spesifik bagi pekerja perempuan yang juga turut andil dalam ekonomi gig.
Pekerja perempuan menghadapi tantangan tambahan seperti risiko pelecehan, keamanan kerja, dan kurangnya dukungan jika mereka harus berhenti bekerja karena alasan kesehatan atau keluarga. Bahkan, sebagian besar peluang kerja gig terkonsentrasi di wilayah perkotaan, meninggalkan pekerja di daerah terpencil dengan akses yang terbatas untuk berpartisipasi dalam ekonomi digital ini.
Dampak Pandemi terhadap Ekonomi Gig Pandemi COVID-19 memperparah kerentanan para pekerja gig. Berdasarkan laporan Lembaga Demografi Universitas Indonesia, lebih dari 60% mitra pelantar digital melaporkan penurunan drastis dalam pendapatan mereka pada awal pandemi.
Selain itu, sekitar 90% dari mereka mengungkapkan bahwa dampak pandemi terhadap penghasilan mereka berlangsung dalam jangka panjang. Hal ini mencerminkan rapuhnya sistem ekonomi gig dalam menghadapi situasi krisis, yang pada akhirnya memengaruhi stabilitas finansial jutaan pekerja informal.