OLEH: Muhammad Fahri
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung
CDN.id, BABEL- Dalam beberapa tahun terakhir, model ekonomi gig telah menjadi fenomena global, termasuk di Indonesia. Berbasis pada teknologi digital, ekonomi ini menawarkan pekerjaan informal yang bersifat fleksibel, jangka pendek, dan berbasis proyek. Kehadirannya memberikan peluang besar bagi masyarakat yang terdampak pandemi COVID-19, terutama melalui platform digital seperti layanan transportasi daring dan pengiriman barang.
Namun, di balik kontribusinya, sistem ini menyimpan risiko besar terhadap ketenagakerjaan jika tidak diatur dengan regulasi yang jelas dan tegas. Ekonomi gig telah menjadi penyelamat bagi jutaan pekerja yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi. Platform digital menyediakan peluang untuk mendapatkan penghasilan secara cepat dengan hambatan masuk yang rendah.
Dalam sektor jasa transportasi daring, misalnya, jumlah pekerja informal meningkat secara signifikan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah mitra pengemudi transportasi daring melonjak dari 500.000 pada tahun 2018 menjadi lebih dari 4 juta pada 2021. Hal ini menunjukkan pertumbuhan empat kali lipat dalam tiga tahun. Namun, pertumbuhan ini tidak diiringi dengan jaminan kesejahteraan bagi para pekerja.
Para mitra dalam ekonomi gig cenderung diperlakukan sebagai “rekan kerja” atau “mitra usaha,” bukan karyawan tetap. Status ini memberikan keleluasaan kepada perusahaan pelantar digital untuk menghindari tanggung jawab seperti pemberian jaminan sosial, tunjangan kesehatan, dan perlindungan ketenagakerjaan. Padahal, para pekerja inilah yang menopang keberlanjutan model bisnis tersebut.