OLEH :ADITYA GUSWANTO PUTRA
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung
CDN.id, BABEL- Keadilan adalah salah satu nilai yang paling agung dalam agama, khususnya dalam agama Islam, di mana Tuhan digambarkan sebagai sumber utama dari segala bentuk keadilan. Dalam keyakinan umat Islam, Tuhan tidak hanya Maha Adil tetapi juga Maha Mengetahui. Namun, pertanyaan penting yang muncul adalah apakah keadilan yang dijalankan oleh pengadilan agama benar-benar mencerminkan kehendak Tuhan? Ataukah keputusan-keputusan yang diambil oleh hakim seringkali lebih dipengaruhi oleh tafsir manusia yang terbatas serta konstelasi sosial dan politik yang ada? Dalam kenyataannya, meskipun pengadilan agama mengatasnamakan Tuhan sebagai sumber keadilan, hasil putusannya seringkali menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara apa yang dianggap adil menurut Tuhan dan apa yang tercermin dalam praktik hukum tersebut.
Surah Al-Baqarah 2:216 dalam Al-Qur’an memberikan gambaran penting tentang keterbatasan manusia dalam memahami keadilan Tuhan. Ayat ini mengingatkan kita bahwa manusia seringkali salah dalam menilai baik buruknya sesuatu, karena mereka tidak mengetahui hikmah yang terkandung di balik setiap takdir Tuhan.
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” Ini mengandung makna bahwa keadilan Tuhan jauh melampaui pemahaman manusia. Apa yang tampak adil menurut ukuran manusia, bisa saja tidak demikian jika dilihat dari perspektif Tuhan. Namun, meskipun kita meyakini bahwa Tuhan Maha Adil, kita tidak bisa menutup mata dari kenyataan bahwa sistem peradilan, terutama peradilan agama, tidak selalu mencerminkan keadilan Ilahi itu.
Ketika hakim di pengadilan agama memutuskan perkara, mereka sering mengutip teks-teks agama, baik itu Al-Qur’an maupun Hadis, sebagai dasar hukum. Tetapi, teks-teks ini sering kali diterjemahkan dan ditafsirkan dengan cara yang sangat bergantung pada pemahaman masing-masing hakim. Ini mengarah pada kesenjangan antara apa yang dianggap keadilan oleh hakim dan apa yang sejatinya diinginkan oleh Tuhan.
Hakim, meskipun berupaya memutuskan perkara berdasarkan ajaran agama, tetap merupakan individu yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik itu latar belakang pendidikan, pengalaman hidup, maupun konteks sosial dan politik yang ada. Dalam hal ini, hukum agama yang seharusnya bersifat mutlak dan adil sering kali tergeser oleh subjektivitas manusia.