Misalnya, dalam perkara perceraian atau warisan, meskipun hukum Islam sudah jelas mengatur hak-hak pihak yang terlibat, keputusan hakim terkadang tidak mencerminkan keadilan yang seharusnya ada, karena diwarnai oleh bias atau pengaruh yang lebih bersifat sosial.
Tentu saja, pengadilan agama memiliki tujuan untuk menciptakan keadilan berdasarkan ajaran agama. Namun, dalam praktiknya, banyak kasus yang menunjukkan bahwa apa yang dianggap adil oleh satu hakim, belum tentu dianggap adil oleh hakim lainnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai konsistensi dan keabsahan keputusan-keputusan yang diambil dalam peradilan agama.
Seringkali, keputusan hakim lebih berfokus pada bentuk dan prosedur hukum yang kaku, sementara mempertimbangkan faktor manusiawi, seperti kebutuhan emosional atau sosial, terlupakan. Ini menciptakan jurang antara keadilan yang ditawarkan oleh sistem peradilan dan keadilan yang dicari oleh mereka yang terlibat dalam proses tersebut.
Namun, keadilan Tuhan bukanlah keadilan yang semata-mata diukur dari keputusan formal atau legalistik yang tertera dalam teks-teks agama. Keadilan Tuhan lebih mengarah pada pemahaman yang lebih mendalam tentang setiap peristiwa, di mana Tuhan mengetahui segala sesuatu yang tersembunyi dan apa yang terbaik untuk umat-Nya, meski sering kali hal itu tidak tampak sesuai dengan keinginan kita sebagai manusia.
Keputusan-keputusan yang diambil oleh pengadilan agama, meskipun berusaha mencerminkan kehendak Tuhan, masih terperangkap dalam keterbatasan manusiawi. Ini menjadi paradoks besar: bagaimana mungkin keadilan Tuhan yang sempurna dapat tercermin dalam sistem yang pada dasarnya sangat terpengaruh oleh keterbatasan pemahaman manusia?
Kontradiksi ini menjadi lebih nyata ketika kita mempertimbangkan berbagai keputusan peradilan yang seharusnya mencerminkan prinsip keadilan yang universal dan tidak memihak. Namun, keputusan-keputusan tersebut sering kali tidak adil bagi pihak yang lebih lemah atau kurang beruntung secara sosial dan ekonomi.
Sebagai contoh, dalam beberapa kasus perceraian, meskipun agama memberikan pedoman yang jelas tentang hak-hak setiap pihak, realitas di lapangan menunjukkan bahwa keputusan hakim bisa jadi tidak menguntungkan pihak yang lebih rentan, seperti wanita atau anak-anak, yang terkadang tidak mendapatkan perlindungan yang cukup dari sistem peradilan.