Penulis & Titel Akademik
KALAU kita melihat cover atau membaca buku-buku terbitan luar negeri, maka penulis only name (hanya nama) tanpa titel ataupun embel-embel akademik. Pun demikian ketika kita membaca buku-buku dari penulis ternama atau penulis kawakan, tak akan kita temui titel akademik di cover buku yang menorehkan namanya.
Mengapa para penulis kawakan dan orang–orang cerdas diluar negeri tidak menuliskan namanya dengan diiringi titel akademik? Pertama, titel keserjanaan hanyalah tanda seseorang selesai kuliah dan bukan tanda punya isi kepala (pikiran). Kedua, seorang penulis tidak ingin pikiran yang ia tuangkan dengan titel itu mempengaruhi pembaca secara tidak logis. Sebab pikiran itu harus “dipertengkarkan” tanpa ada embel-embel. Ketiga, umumnya penulis itu berperang dengan pikirannya, idealis dan tidak terikat dengan kepentingan pribadi, sehingga pasti sangat-sangat risih jika ditulis titel akademik atau embel-embel lainnya.
Masih banyak lagi alasan lainnya, dan saya pun demikian khidmat dengan menyukai itu. Sehingga 80 lebih buku saya yang sudah diterbitkan tidak ada satu pun saya tulis titel akademik maupun gelar Datuk atau apalah dari ini dan itu. 1.000 -an (seribu-an) Opini saya tulis baik di media cetak maupun online, baik kelas lokal maupun nasional, tak sekalipun saya menggunakan titel atau gelar. Tak perlu juga saya menyebut-nyebut prestasi saya kala berstatus mahasiswa, kepemimpinan dalam berbagai organisasi saat masih merantau di Pulau Jawa atau membanggakan diri pernah naik panggung mendapat predikat “duniawi” dari Sang Rektor diantara 2.127 Wisudawan kala itu.
Malah yang sering saya ceritakan adalah saya pernah kuliah di sebuah kampus (padahal 2 kampus) dan menolak diwisuda dengan aksi demonstrasi dan akhirnya saya Drop Out. Untungnya di kampus satunya selesai dengan predikat seperti yang saya sebut diatas. Selanjutnya saya menjadi mahasiswa S2, saat hendak menyelesaikan thesis, saya mengundurkan diri karena merasa sudah cukup pelajarannya. Berikutnya saya ke Jakarta, malah daftar S1 lagi di sebuah kampus Katolik, hanya sebentar dan tak saya selesaikan. Alhamdulillah, ternyata seringkali menjadi Dosen tamu di beberapa kampus walau titelnya rendahan banget. Alhamdulillah pernah menulis & menyelesaikan thesis mahasiswa S2, menulis & menyelesaikan buku beberapa Doktor dan Guru Besar (Proffesor) & pernah ikut bantu-bantu senior yang bergelar Doktor & Proffesor sebagai penulis teks pidato Menteri Agama RI saat dikukuhkan menjadi Guru Besar. Kala itu saya masih berstatus mahasiswa, belum sarjana. Persisnya saya hanya tukang ketik dan tukang rangkum saja.
So, tidak ada hubungannya titel akademik dan gelar ini itu dengan isi kepala (pikiran) seseorang. Jangan dikira kalau sudah bergelar Haji sudah pasti alim. Pun demikian dengan titel akademik. Apalagi gelar tokoh, budayawan, penulis, wartawan, dan lain sebagainya bahwa mereka cerdas atau menguasai dengan gelar atau profesi yang disandang. Begitulah cara kita memahami hidup.
Bangka Belitung & Kegenitan Sosial
SELAMA kembali menetap di Bangka Belitung (setelah 14 tahun merantau), saya seringkali mengalami hal remeh-temeh akibat dari kegenitan sosial. Kadangkala hendak ketawa, tapi “gerigit ati”. Kadangkala hendak berkata kasar, tapi malu sama makhluk halus.