Lemahnya pengawasan oleh institusi terkait membuat masalah pengemis ini menjadi persoalan yang tidak terselesaikan. Dalam fakta dilapangan para pengamen dan pengemis yang berada di kota Pangkalpinang bukan masyarakat asli bangka melainkan berasal dari luar pulau bangka seperti dari Sumatera dan Jawa yang dengan sengaja menjadikan mengamen dan mengemis sebagai mata pencarian sehari-hari. Mereka mengamen dan mengemis dengan berbagai macam motif mulai dari menggunakan kostum badut, memakai baju koko dan peci, menggendong anak kecil, mengunakan alat musik angklung, sound mini, kerenceng, dll. Dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Pangkalpinang Nomor 7 tahun 2015 terdapat sanksi Pidana terhadap Pengemis dan pengamen yaitu pidana kurungan 6 bulan dan denda 50 juta rupiah. Tetapi pada implementasi perda tersebut belum terealisasikan oleh pemerintah daerah kota Pangkalpinang, dinas maupun instansi terkait.
Dari beberapa pengamen dan pengemis yang ada di Pangkalpinang banyak dijumpai sebagian yang melakukan eksploitasi balita dan anak-anak yang dijadikan subjek untuk memancing rasa iba dan prihatin para korban untuk memberikan uang kepada pengemis tersebut. Padahal hal tersebut dilarang keras dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 2014 tentang Perlindungan Anak, sanksi terhadap orang tua atau siapapun yang mengeksploitasi anak ancamannya pidana Penjara 10 tahun dan denda 200 juta rupiah.
Seringkali masyarakat resah akan kehadiran para pengemis dan pengamen tersebut bahkan ada yang sampai terkesan memaksa untuk diberikan uang. Tujuan dari adanya perda No 7 tahun 2015 tersebut adalah untuk memberantas dan menanggulangi masalah sosial tersebut. Sehingga para pengamen dan pengemis dapat dibina dan dibimbing untuk bisa lebih produktif dan tidak memgemis lagi. Dinas sosial selaku instansi yang memiliki tugas pokok untuk menanggulangi masalah tersebut harus sering terjun kelapangan untuk melakukan monitoring dan sigap untuk melakukan sterilisasi pengemis dan pengamen yang ada di kota Pangkalpinang.