Kata “Gundul” memiliki arti kepala plonthos tanpa rambut alias botak. Kepala adalah lambang kehormatan, atau kemuliaan seseorang. Sedangkan rambut biasa disimbolkan sebagai mahkota lambang keindahan kepala. Jadi, ‘gundul’ dalam lagu ini memiliki arti kehormatan tanpa mahkota.
“Pacul” (cangkul), merupakan alat petani yang terbuat dari lempeng besi segi empat. Pacul adalah lambang dari kaum rendah, yang kebanyakan petani. “Gundul pacul” artinya seorang pemimpin sesungguhnya bukan orang yang diberi mahkota tetapi dia adalah pembawa pacul untuk mencangkul, mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Pemimpin itu adalah amanah, bukan diturunkan kepada anak atau family agar terus menguasai.
Ini memang lagu anak-anak, tapi memiliki arti filosofis yang begitu dalam dan mulia
yang berisi peringatan untuk para pemimpin negara agar mereka tidak boleh sembrono dan seenaknya sendiri dalam menjalankan amanah yang telah diberikan kepadanya, apalagi mengangkangi konstitusi, aturan, UU dan etika. Sebab pemimpin yang sembrono dalam menjalankan kekuasaannya hanya akan membuat seluruh tatanan dan aturan masyarakat menjadi rusak dan menyebabkan kondisi negara menjadi sulit, bahkan sampai tak terkendali. Ketika sebuah negara tak terkenadali (auto pilot), maka akan ada yang mencari celah keuntungan dibaliknya.
“Nyunggi-nyunggi wakul-kul, gembelengan”._ Dalam bait kedua ini terdapat kata _“nyunggi wakul”. Kata tersebut memiliki arti membawa bakul nasi di atas kepala. Bakul sendiri merupakan simbol dari kesejahteraan rakyat. Dalam konteks negara, di dalam bakul tersimpan kekayaan negara, sumber daya alam, pajak, dan sebagainya. Oleh karena itu, kata “nyunggi wakul” dapat dimaknai bahwa kepala yang merupakan kehormatan berada di bawah bakul yang dimaknai sebagai kesejahteraan rakyat.
Dalam konteks kepemimpinan dalam bernegara, bait kedua ini menjelaskan makna lagu “Gundul-Gundul Pacul” bahwa kedudukan pemimpin berada di bawah bakul rakyat. Namun sayangnya, tetap saja para pemimpin masih “gembelengan” dalam menjalankan perannya sebagai pemimpin.
Pada bait ketiganya “wakul ngglimpang” yang memiliki arti bahwa bakul yang diletakkan di atas kepala tadi jatuh. Setelahnya, lirik dilanjutkan dengan kata “segane dadi sak ratan”, yang memiliki arti nasi yang berada di bakul tadi ikut tumpah dan akhirnya berceceran ke mana-mana.