Suatu hari, saya mendapat telpon. Melalui suara telpon itu, nada bicara yang sangat santun dan penuh penghormatan yang tinggi nampak terdengar oleh saya dari suara telpon yang saya genggam. “Assalamualaikum Pak Ahmadi“. Saya pun menjawab salam tersebut. Setelah sang pemilik suara menyebutkan namanya, saya kaget dan berusaha mengakrabkan diri dengan menanyakan kabar.
Setelah itu sang pemilik suara diujung telpon itu berkata dengan sangat santun dan seperti ragu-ragu menyampaikannya. “Jadi begini, kira-kira kapan Pak Ahmadi ada waktu, saya mau menghadap”. Mendengar omongan ini, tenggorokan saya seperti tercekat. Sesaat saya terdiam dan tak terasa kedua bola mata saya berkaca-kaca. Kalimat itu sangat biasa sekali sebab seringkali pertanyaan itu saya dapatkan. Tapi kali ini sangat berbeda dan tak akan pernah saya samakan sampai kapanpun dan dalam kondisi apapun. Mengapa? Sebab yang mengucapkan itu adalah Guru saya selama 6 tahun saya dididik dan diajari oleh beliau semasa duduk di Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD) di Pondok Pesantren Al Islam Kemuja.
2 kalimat yang membuat saya sangat risih sekaligus khawatir, yakni kalimat panggilan “Pak” dan “menghadap” tepatnya “….kapan Pak Ahmadi ada waktu, saya mau menghadap?”. Sesaat terdiam, akhirnya saya menjawab pelan: “Pak, saya ini murid Bapak, sampai kapan pun saya adalah murid. Kenapa saya dipanggil “Pak Ahmadi?” Kenapa Bapak yang harus menghadap saya? Bukankah saya murid dan bapak adalah guru? Harusnya saya yang bapak panggil ke rumah dan saya yang harus datang serta menanyakan kapan bapak ada waktu saya datangi ke rumah?” begitulah jawaban yang saya berikan dengan sedikit terbata-bata sebab tenggorokan rasanya susah mengeluarkan suara.
“Bukan begitu, kamu kan sibuk?” bantah sang guru ini. “Nggak Pak. Kapan Bapak ada di rumah, saya mau datang” tegas saya dari ujung telpon. Akhirnya sesuai waktu yang ditentukan, saya datang menemui sang guru itu di kediamannya.
Kepada Muftie Holish saya katakan bahwa kesimpulan dari cerita pengalaman ini adalah etika sosial seorang murid kepada guru pasca sang murid sudah dewasa atau tak lagi dididik dan diajar. Apapun profesi yang kita sandang, setinggi apapun jabatan yang didapatkan dan sepopuler apapun nama kita dikenal orang, bahkan wira-wiri wajah kita nongol di televisi dan koran, kita tetaplah murid. Sebagaimana kita dihadapan orangtua kandung yang sesungguhnya hanyalah anak, bukan siapa-siapa dan tak terpedaya dengan apa yang sedang kita miliki.
Saya sangat suka kalau guru-guru yang pernah mendidik & mengajar saya datang ke kediaman saya, baik di kampung, di kebun maupun saat saya di rumah yang berada di Kota Pangkalpinang. Sebab itu sering terjadi dan hal seperti ini adalah keberkahan yang luar biasa yang didapatkan oleh seorang murid. Tapi mereka datang sekedar untuk berbincang ringan, ngopi, cerita ngalor ngidul atau sekedar menikmati masakan yang ada di rumah, bukan karena mereka membutuhkan saya. Kalau guru membutuhkan saya, maka saya yang harus dipanggil, bukan didatangi apalagi diminta waktu alias jadwal sempatnya. Memang sekurang ajar apa sang murid kok sampai guru yang harus menghadap? Terus terang, kurang ajar saya masih belum masuk tingkatan ini, walaupun tingkatan kurang ajar yang lain pernah saya jajaki.
Saya bangga banget, setelah dewasa ini, sering kumpul dan didatangi guru-guru, lantas dicandain atau dibully. Saya bahagia ketika guru-guru yang pernah mendidik & mengajar saya “ngerjain” atau mencandai dengan penuh keakraban yang mengundang tawa. Sebab kalau sudah seperti itu, saya menganggap mereka benar-benar akrab dan sudah menjadi sahabat dalam pergaulan, namun tetaplah Guru dan Murid yang tak akan boleh dikesampingkan.