Dispensasi Kawin, Sebuah Dilema Moral dan Hukum

oleh
oleh

Namun, yang menjadi permasahan nya sekarang ialah dispenssi kawin dapat menjadi dilema moral dan hukum dimana situasai yang  menghadapkan seseorang ke dalam dua pilihan, tetapi tidak satupun dari pilihan tersebut bisa diaanggap sebagai pilihan yang tepat. Dalam hal ni, hakim bisa jadi kesulitan dalam memngambil keputusan. Hakim dihadapkan dengan dua pilihan antara masa depan anak dan kemaslahatan untuk anak. dalam beberapa kasus peradilan agama banyak ditemukan faktor penyebab adanya pengajuan dispensasi kawin ini demi menghindari zina dan bisa jadi karena sudah pernah berhubungan seksual.

Di Indonesia, batas usia perkawinan yang ditetapkan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Pasal 7  ayat (1) “19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan”. Hanya saja, batasan ini dapat disimpangi dengan mengajukan dispensasi perkawinan ke Pengadilan Agama. Tidak adanya kriteria atau indikator standar dalam Undang-Undang Perkawinan membuka peluang bagi majelis hakim untuk memberikan putusan berdasarkan inisiatifnya sendiri, yang cenderung mengacu pada teks-teks fikih. Implikasinya, sebagian besar permohonan dispensasi selalu dikabulkan, sehingga sebagai faktor penyebab perkawinan di bawah umur.

Sedangkan di dalam Islam, memang tidak pernah secara spesifik membahas tentang usia perkawinan. Al-Qur’an hanya menetapkan dengan tanda-tanda dan isyarat terserah kepada kaum muslimin untuk menetunkan batas umur yang ideal, yang sesuai dengan syarat dan tanda-tanda yang telah ditentukan, serta disesuaikan dengan dimana hukum itu akan diundangkan (Salam, 2017). sesuai dengan Undang-Undang perkawinan yang menyebutkan bahwa perkawinan itu adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah-tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pertimbangan dari pasal tersebut adalah bahwa sebagai negara yang berdasarkan kepada Pancasila sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi juga memiliki unsur batin/rohani yang mempunyai peranan penting (Prabowo, 2013). Sedangkan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam tercantum dalam pasal 2 yang berbunyi “Perkawinan menurut hukum Islam” adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.

No More Posts Available.

No more pages to load.