Guru, Murid & Etika Kehidupan

oleh
oleh

Oleh: AHMADI SOFYAN

Setinggi apapun jabatan dan sepopuler apapun nama seorang murid, jangan pernah seorang guru membungkukkan diri & menghormati muridnya, sebab itulah awal kerusakan mental sang murid.
====

AMARRU Muftie Holish, anak muda asli Bangka yang baru saja menyelesaikan pendidikan S-2 nya di University of Basque Country Spanyol bertandang ke pondok kebun saya yang berada tepat di tepi sungai. Kami lama sudah berkomunikasi, saat ia masih di Spanyol. Ia mengenal nama saya dari ayahnya yang memang sahabat baik dan senior saya. Menurut Muftie Holish, Ayahnya jualah yang merekemondasikan nama saya untuk berkomunikasi dan diskusi dengan putra kesayangannya ini.

Sambil menikmati secangkir kopi dan memandang aliran sungai yang tak begitu deras, saya & Muftie Holish berdiskusi banyak hal, terutama tentang kehidupan sosial, tanah kelahiran Bangka Belitung, politik dan inspirasi sosial bagi anak-anak muda. Ternyata ada kesamaan saya dan Muftie Holish ini, sama sama pengagum Bj. Habibie. Kami berdua sama-sama menganggap & menyatakan bahwa Bj. Habibie adalah Negarawan sejati bagi Indonesia. Perjalanan politik dan kesahajaan serta buku-bukunya yang sama-sama pernah kita baca menjadi bahan diskusi yang menyenangkan sore itu. Saya suka diskusi dengan anak muda yang santun, tawadhu (mirip ayahnya) dan penuh rasa ingin belajar seperti Muftie Holish ini.

Berjam-jam kami berdua diskusi, tidak secuil pun Muftie Holish menceritakan apalagi membanggakan tentang perjalanan pendidikannya di luar negeri. Tidak ada sekalimat pun dirinya menceritakan dan membanggakan sang ayah yang notabene adalah orang yang sangat berpengaruh dan memiliki jabatan yang mentereng yang pastinya diimpikan oleh banyak orang.

Muftie Holish tidak menjadikan perjalanan pendidikannya di luar negeri sebagai ajang kehebatan untuk membanggakan diri. Ia juga tidak berada dibawah nama besar ayahnya yang juga sangat dekat dengan saya, bahkan kalau saya nggak ada duit, berani WhatsApp langsung dan minta sama ayahnya. Begitulah kedekatan saya sama Ayah dari anak muda usia 23 tahun ini. Muftie Holish menjadi dirinya sendiri, tanpa embel-embel kebesaran nama & jabatan sang Ayah atau perjalanan pendidkan yang ditempuh. Mungkin seperti ini yang dimaksud oleh Ali bin Abi Thalib r.a. dalam wasiatnya: “Innal fata man yakuulu haa ana zha, walaiysal fathaa man yakuulu kaa na abii…” (Pemuda itu berani berkata inilah diri saya, bukan ini bapak saya)

Dalam diskusi tak bertepi itu, tiba-tiba saya memberikan nasehat kepada Muftie Holish yang berdasarkan pengalaman yang pernah saya alami. Nggak tahu juga, nasehat ini belum pernah saya ucapkan sebelumnya kepada siapapun, sebab pengalaman ini sempat membuat saya sedikit khawatir dalam perkembangan mental saya kala itu.

No More Posts Available.

No more pages to load.