Secara umum tradisi ini memang dilakoni oleh Masyarakat Sunda, Jawa Barat. Namun sebagai informasi, tradisi ini memiliki bentuk pelaksanaan yang berbeda-beda dari kota yang satu dengan kota lainnya di di Jawa Barat. Perbedaan yang ada semasa sekali tidak mengurangi makna dan tujuan dari tadisi ini. Sebab pada prinsipnya, tradisi ini tetap memiliki kesamaan yakni berkumpulnya anggota keluarga untuk bersilaturahmi, berdoa bersama, dan makan sahur bersama.
Istilah munggahan juga sering disebut dengan istilah “botram” dengan keluarga, sanak saudara, kerabat dekat, dan tetangga di pegunungan, sawah, dan bukit-bukit. Bahkan ada pula yang mengunjungi tempat wisata dengan keluarga atau mengadakan acara resmi keagamaan. Selain acara makan-makan atau bepergian, tradisi ini merupakan sebuah sarana dalam menjaga keharmonisan dan kedekatan yang ada di antara anggota keluarga.
Momen penting dalam tradisi ini terjadi selama bulan Sya’ban, yang dipercaya sebagai waktu berkumpulnya roh para leluhur.
Dalam bahasa Sunda, bulan Sya’ban sering disebut sebagai “Ruwah” yang artinya roh. Pada waktu tersebut, dilakukan doa bersama bagi roh nenek moyang atau anggota keluarga yang telah meninggal.
Tradisi Munggahan dianggap sakral bagi kedua kelompok masyarakat, penduduk “Hinggil” dan “Handap”, sebagai momen berkumpul dan menghormati leluhur.
Saat agama Islam masuk ke suku Sunda, tradisi Munggahan berubah menjadi upacara penyambutan bulan Ramadan. Namun, seiring perkembangan waktu, tradisi ini terus bertransformasi menyesuaikan dengan perubahan kondisi sosial dan budaya.
Tujuan Munggahan
Tradisi Munggahan menjadi sebuah ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas berkah dan kesempatan bertemu dengan bulan Ramadan untuk berpuasa dan membersihkan jiwa.
Hal ini dilakukan dengan harapan agar puasa berjalan lancar dan dapat menjauhkan diri dari perilaku yang buruk.