Oleh: Fakhruddin Halim (Sekretaris PWI Babel)
RUPANYA ucapan Penjabat Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Suganda Pandapotan Pasaribu soal “maling besar” masih saja menjadi diskursus oleh segelintir pihak. Bahkan ada nuansa kecurigaan.
Meskipun suara-suara yang mempertanyakan ucapan tersebut tetap harus dinilai positif sebagai bagian dari kontrol sosial oleh publik.
Apalagi sejak beberapa tahun terakhir gerakan kritis ada yang menilai eksistensinya melemah. Entah dengan berbagai sebab. Adanya kelompok kritis sangat penting sebagai kekuatan penyeimbang. Suara kritis ini harus pula kita hargai sebagai sesuatu yang positif.
Hanya saja, menafsirkan atau menginterpretasi satu ucapan atau teks ada kalanya tak bisa secara apa adanya.
Sebab, butuh berbagai pendekatan. Paling tidak secara teori hermeneutika perlu dilihat aspek yang melatarbelakangi ucapan atau teks, ucapan itu sendiiri, konteks dan kontekstualisasi. Belum lagi aspek sosiologis, kultural dan lainnya.
Ini perlu pendekatan atau metode dan teknik menafsirkannya dilakukan secara holistik dalam bingkai keterkaitan antara teks atau ucapan, konteks, dan kontekstualisasi.
Ucapan Suganda dilatar belakangi oleh berbagai informasi yang dia terima. Lalu, diungkapkan ke sejumlah pemimpin redaksi media massa. Dengan harapan media massa ikut mengawasi kinerja pemerintah.
Secara faktual pula, soal ke KPK memang dia ke KPK bahkan bertemu dengan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.