BUKAN hanya food estate, banyak kegagalan Pemerintah dalam mengelola lahan pertanian. Negara agraris ini harusnya mendunia dengan hasil pertaniannya, tapi bangga import dari luar negeri yang lahannya tak begitu subur. Kegagalan dalam peternakan pun demikian. Berapa banyak bantuan bibit ini bibit itu kepada rakyat dengan menggunakan anggaran tak sedikit, akhirnya tidak pernah panen. Bahkan seringkali saya ungkapkan langsung kepada beberapa Kepala Daerah di Bangka Belitung. “Mbok ya kalau ngasih bantuan bibit apapun, diperhitungkan dengan jeli, gak sembarang dibagikan, terus ada pola serta tanggungjawab & konsekuensi baik yang memberi maupun yang menerima”. Lalu saya jabarkan secara lisan bagaimana bibit-bibit tanaman (pohon) itu dijadikan sebagai ikon Desa (daerah), sehingga konsep one village one product bisa terjadi. Selain itu akan mudah mengawasi dan mempertanggungjawabkannya, baik pemberi maupun penerima. Sistem pembibitan juga bukan mainan proyek ordal (orang dalam), begitu juga pembagian yang selama ini terjadi.
Kembali ke laptop, eh food estate, kegagalan ini terjadi bisa jadi diawali dari ketidakpahaman bahkan ketidakpercayaan pada hadits Nabi Muhammad SAW: “Apabila suatu pekerjaan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah masa kehancurannya”.
Deretan proyek Food Estate dari era ke era Pemerintah Indonesia dianggap terus menuai kegagalan. Sehingga muncul pertanyaan: “Masih perlukah ekstensifikasi lahan pertanian untuk menggenjot produksi pangan nasional?”
Research Associate Center of Reform on Economics Indonesia, Dwi Andreas Santosa, mencatat setidaknya terdapat 4 proyek food estate yang gagal. Proyek food estate tersebut mayoritas berlokasi di Pulau Kalimantan. Menurutnya, kegagalan proyek tersebut disebabkan oleh pelanggaran 4 pilar akademis, yakni kelayakan tanah dan agroklimat, teknologi, infrastruktur, sosial dan ekonomi. Artinya keempat pilar ini harus ada dan sempurna sebelum proyek food estate bisa berjalan dan menguntungkan. Jika satu pilar tidak dijalankan dengan baik, maka jawabannya pasti gagal proyek food estate. Inilah salah satu jawaban mengapa proyek yang dilakukan selalu gagal.
Memang, gagal itu lumrah, tapi gagal dengan menggunakan uang negara itu kebangetan banget dan harus dipertanggungjawabkan. Gagal itu biasa, tapi tidak mengakui kegagalan itu sangatlah tidak dewasa. Terlebih kegagalan yang dibela dengan berbagai cara oleh “cheerleader” (pemandu sorak) politik itu adalah kedunguan mutlak. Dungu sih biasa, tapi mendungukan diri dan menjadi mutlak dungu ini bisa masuk keajaiban dunia ke-10.