Perbedaan pilihan dalam demokrasi ada keasyikan tersendiri. Riuh dan debat alias “becelekeh” itu lumrah, yang penting tak saling membantai. Seringkali saya ungkapkan, politik itu cukup sampai tenggorokan jangan sampai masuk ke hati, ntar sakit hati. Kalau cuma sampai tenggorokan paling sakit tenggorokan alias habis suara.
Orangtua kita dulu pernah menasehatkan: “Selama sendok, garpu, piring, cangkir, mangkok & perabotan lainnya masih dalam satu rak, maka dipastikan berbenturan dan berbunyi “klontang-klonteng”.
Nasehat orangtua kita ini bermaksud untuk kita bijak dalam menghadapi perbedaan, “klontang-klonteng” mah sudah biasa, yang penting jangan sampai pecah. Gambaran dalam kehidupan kita, terjadi gesekan dan kadangkala suara keras yang mengagetkan sekitar, baik itu dalam komunitas, organisasi, perkumpulan, organisasi, lembaga, instansi bahkan pasti juga dalam keluarga.
Budaya Sebagai Lem Perekat
BUDAYA adalah kekayaan yang tercipta dari nilai-nilai kearifan (local wisdom). Budaya adalah jalan besar nan indah menjadi lem perekat bangsa Indonesia. Ketika Bhennika Tunggal Ika dicetuskan sebagai semboyan kita, menunjukkan betapa budaya Indonesia yang teramat kaya dan indah ini menyatu dalam kebersamaan sebagai anak bangsa.
Pemahaman budaya yang rendah, rentan akan membuat bangsa ini berpecah belah. Apalagi generasi Gen Z dan Milenial yang semakin menjauh dari nilai-nilai budaya, sehingga adab dan etika serta penghormatan pada nilai-nilai sejarah dan budaya sangatlah minim. Oleh karenanya, penting bagi Pemerintah dari Pusat sampai Desa untuk kembali menggali nilai-nilai budaya sebagai karakter bangsa. Sebab tahun demi tahun, Indonesia berkarakter budaya semakin tak jelas. Budaya itu bukan setiap tahun pada peringatan 17 Agustus dengan memakai busana adat suatu daerah. Itu hanya penampakan saja, yang paling penting adalah kebijakan dan membentuk watak.