“Behume”, Solusi Ketahanan Pangan Bangka Belitung

oleh

Hasil dari panen padi inilah yang akhirnya disimpan (masih berbentuk padi) oleh para orangtua kita. Lantas diambil sesuai kebutuhan dan ditumbuk agar menjadi beras. Seiring perjalanan waktu, ada mesin pengelupas kulit padi. Padi-padi yang tersimpan inilah sebagai ketahanan pangan orangtua kita dulu, sehingga mereka sangat jarang membeli beras, bahkan ada yang bertahun-tahun tidak membeli beras sebab banyaknya simpanan padi. 1 atau setengah karung butiran padi biasanya disimpan khusus dijadikan benih untuk nugal pada tahun berikutnya.

Orangtua kita dulu di Pulau Bangka tergolong cerdas dan solutif. Mereka menyadari bahwa kita hidup di Pulau kecil, yang sangat mungkin sewaktu-waktu stok beras dari luar Pulau bisa “mandek” akibat berbagai macam faktor. Sedangkan lahan yang ada umumnya adalah lahan kering bukan lahan persawahan seperti di Pulau Jawa. Jika pun ada lahan yang bisa dijadikan persawahan, selain lokasinya jauh, juga tempatnya tidaklah banyak.

Dari kesadaran inilah, para orangtua kita yang tak berpendidikan tinggi itu terdidik untuk menemukan solusi bagaimana kebutuhan utama berupa beras bisa terpenuhi bahkan tersimpan bertahun-tahun dalam lumbungnya.

Seiring perkembangan zaman dan perjalanan waktu, disertai modernisasi dalam berbagai sisi, berladang atau “behume” sudah jarang sekali kita saksikan. Kita masyarakat kampung akhirnya menjadi konsumen produk-produk dari luar ketimbang produksi dari lahan sendiri. Awalnya kita anggap lebih baik membeli, sebab harganya murah, daripada produksi (nanam) biayanya besar. Namun lama kelamaan kebiasaan menanam kita hilang oleh gaya kita sebagai penikmat. Terus harga-harga kebutuhan pokok yang awalnya kita anggap murah, ternyata sedikit demi sedikit naik dan melambung tinggi. Hendak kembali menanam, kebiasaan itu sudsh hilang dan generasi telah berganti tanpa tahu bagaimana berladang atau “behume”. Begitulah siklus elite global dalam “membantai” ekonomi kita di sisi kebutuhan pokok sehari-hari.

Kecerdasan orangtua kita tidak sampai disini, tapi di lahan tersebut mereka bertanam berbagai jenis kebutuhan hidup sehari hari, dari kunyit, lengkuas, cabe, cekur, sayuran, tomat, kacang panjang, timun, kacang butur, dan lain sebagainya. Konon, saat itu hanya bawang, gula, garam, terasi dan sasa saja orangtua kita membeli di toko. Lebih cerdas lagi, ubi atau singkong ditanam diawal membuka lahan dan umumnya ditanam dipinggir lahan sebagai pembatas. Orangtua kita dulu berpendapat: “semiskin-miskinnya kita, insya Allah masih ada ubi/singkong untuk dimakan”. Bagi saya ini nilai kearifan lokal yang mengandung kecerdasan tinggi ditengah minimnya fasilitas modern seperti kita sekarang ini. Salut banget dengan pemikiran dan aksi orangtua kita zaman dulu.

No More Posts Available.

No more pages to load.