CDN.id, JAKARTA – Peristiwa penembakan yang melibatkan anggota TNI-AL dan pemilik rental mobil menyoroti pentingnya pendekatan hukum dalam penyelesaian konflik. Kasus ini menunjukkan bahwa kedua belah pihak memiliki andil dalam menciptakan situasi yang memanas hingga berujung pada kekerasan.
Dari kronologi kejadian, diketahui bahwa pihak rental mengerahkan belasan orang untuk mencari mobil yang diduga digelapkan. Namun, pendekatan ini dianggap sebagai tindakan premanisme karena tidak melibatkan pihak kepolisian dalam melacak keberadaan mobil tersebut.
“Langkah tersebut memperkeruh situasi, terutama karena pihak rental tidak menyadari bahwa individu yang mereka temui adalah seorang anggota TNI,” kata Rico Pasaribu, Pengamat Hukum Pidana, Jumat (10/1).
Di sisi lain, dalam rekaman video yang beredar luas, anggota TNI tampak dikeroyok, dipukuli, dan diteriaki maling oleh pihak rental. Dalam situasi terdesak, anggota TNI melepaskan tembakan yang kemudian menewaskan pemilik rental. Meski tindakan ini dilakukan untuk membela diri, penggunaan senjata api tetap menjadi sorotan, mengingat aturan ketat penggunaannya dalam hukum militer.
Jika anggota TNI tersebut mengaku melakukan karena upaya pembelaan diri, hal itu diatur dalam Pasal 49 KUHP dibagi menjadi dua jenis yaitu pembelaan diri dan pembelaan diri luar biasa. Pasal 49 ayat (1) KUHP menjelaskan pembelaan diri merupakan tindak pidana, barangsiapa melakukan tindakan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan, kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain yang terjadi karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat dan yang melawan hukum pada saat itu. KUHP mengatur mengenai perbuatan yang dilakukan seseorang untuk mempertahankan diri atau barangnya dari serangan melawan hak. Pembelaan darurat dalam rangka mempertahankan diri, tidak dapat dikatakan melanggar asas praduga tidak bersalah atau dikatakan main hakim sendiri.