Padahal, kata Hendry, jurnalistik investigasi amat dibutuhkan karena sumber-sumber resmi sulit memberikan informasi yang dibutuhkan oleh wartawan. Hal ini berlaku tidak hanya di media cetak tapi termasuk juga media penyiaran.
Selain itu, RUU Penyiaran ini juga akan mengakibatkan adanya bentrok penyelesaian pengaduan yang akan membuat bingung masyarakat dan pelaku pers. Pasalnya, selama ini KPI hanya mengurusi isi siaran non berita. Dengan usulan UU Penyiaran baru ini, KPI punya kewenangan juga soal berita. “Bahkan istilah penyiaran diperluas ke semua jenis siaran termasuk di medsos,” ujar dia.
Dalam draf RUU Penyiaran tertanggal 27 Mei 2024 terdapat sejumlah pasal yang dikritik karena berpotensi mengancam kebebasan pers. Pasal-pasal bermasalah dalam draf RUU Penyiaran, yakni Pasal 8A huruf q dan Pasal 50 B Ayat 2 huruf c. Draf RUU Penyiaran yang diperoleh Tempo berisikan 14 BAB dengan jumlah total 149 Pasal.
Pasal 8A huruf q memberikan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran. Padahal selama ini kewenangan tersebut merupakan tugas Dewan Pers yang mengacu pada Undang-Undang Pers