Politik dinasti dalam konteks Pilkada merujuk pada dominasi politik oleh keluarga atau kerabat dari pejabat politik yang sedang atau pernah berkuasa. Meskipun Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 33/PUU-XIII/2015 telah membatalkan larangan politik dinasti dalam UU Pilkada dengan dalih perlindungan hak konstitusional setiap warga negara untuk dipilih dan memilih, tetapi pada kenyataannya praktik dinasti politik ini masih marak sehingga memberikan berdampak negatif terhadap demokrasi substansial.
Secara normatif, hukum tidak melarang seseorang mencalonkan diri karena hubungan darah dengan pejabat sebelumnya. Namun, yang menjadi permasalahan utamanya bukan terletak pada asas legalitas, melainkan pada ketimpangan akses terhadap kekuasaan politik. Calon yang berasal dari keluarga pejabat cenderung memiliki sumber daya politik dan ekonomi yang lebih besar, termasuk jaringan birokrasi, media, dan modal finansial. Hal ini menciptakan arena kompetisi yang timpang dan merusak prinsip keadilan elektoral.
Implikasi lebih lanjut dari politik dinasti ialah meningkatnya risiko konflik kepentingan, praktik korupsi, serta rendahnya inovasi kebijakan di tingkat daerah. Studi-studi empiris, seperti yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menunjukkan bahwa kepala daerah yang berasal dari dinasti politik lebih rentan terlibat dalam tindak pidana korupsi.