Kendati, Butet merasa tak pernah menggunakan kata-kata binatang untuk menghina Jokowi saat memberikan orasi atau pantunnya di acara kampanye kemarin.
“Kata binatang yang mana? Wedhus [kata dalam bahasa Jawa yang arti harfiah atau denotasinya adalah kambing] ? Ha nek ngintil [yang membuntuti] itu siapa? Kan saya cuma bertanya pada khalayak. Yang ngintil [membuntuti] siapa? ‘Wedhus’ berarti kan yang tukang ngintil [itu] wedhus. Tafsir aja. apa saya sebut nama Jokowi? Saya bilang ngintil kok,” ujarnya.
Butet menerangkan, pantun yang ia bacakan saat kampanye kemarin memang telah disiapkan. Sementara orasi sebagai pengantar pantun sifatnya spontan.
Dia tak menampik isi pantun itu memang salah satunya dimaksudkan untuk mengkritik Jokowi. Butet mengaku kritik itu dilontarkannya setelah merasa terkhianati sebagai salah satu pendukungnya atau ‘Jokower’ sejak 2014 lalu.
“Anda tahu semua ini (saya) Jokower sejak 2014 tahu kan. Pendukung, pembela, membantu Pak Jokowi. Ini. Ujungnya jutaan orang kena prank. Ditipu. Ini orang yang mencintai menyayangi Jokowi dan mengingatkan Jokowi. Diingatkan secara sopan secara alus nggak mau dengerin. Alus nggak iso ya rodo kasar setitik. Justru karena saya itu menyayangi Jokowi maka, saya mengkritik mengingatkan,” ungkapnya.
Lebih jauh, Butet menganggap apa yang ia sampaikan lewat orasi atau pantun kemarin merupakan suatu cara untuk menyatakan pikiran-pikiran dalam benaknya sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang dijamin negara.