Oleh: BELLA SACSKYA
Mahasiswi Fakultas Hukum, Universitas Bangka Belitung
CDN.id, BABEL- Konflik kepentingan merupakan tantangan utama dalam pengelolaan perusahaan modern. Situasi ini muncul ketika individu dalam perusahaan memiliki kepentingan pribadi yang berpotensi memengaruhi keputusan bisnis. Benturan ini tidak hanya merugikan perusahaan, tetapi juga melemahkan kepercayaan pemangku kepentingan. Oleh karena itu, penting bagi setiap perusahaan untuk memiliki instrumen hukum yang mampu mendeteksi dan mencegah konflik sejak dini. Hukum perusahaan menjadi alat penting dalam menjaga integritas dan profesionalisme dalam struktur korporasi.
Dalam konteks hukum perusahaan, konflik kepentingan harus didefinisikan secara jelas dan diatur dalam kebijakan internal. Banyak perusahaan mengabaikan pentingnya dokumen seperti kode etik yang memuat ketentuan soal potensi konflik ini. Padahal, keberadaan aturan yang tegas dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang. Tanpa regulasi yang tepat, keputusan bisnis bisa tercemar oleh motif pribadi yang merugikan perusahaan. Maka dari itu, pencegahan harus dimulai dari sistem hukum internal yang kokoh.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas telah memberikan dasar hukum yang kuat untuk mengatur tata kelola perusahaan. Salah satu prinsip penting yang diatur adalah kewajiban direksi untuk bertindak demi kepentingan perusahaan, bukan pribadi.
Jika terjadi pelanggaran, maka hukum dapat menjerat pihak-pihak yang terbukti menyalahgunakan jabatannya. Ketentuan ini harus dipahami dan diimplementasikan secara konsisten di seluruh level manajemen. Tidak cukup hanya menjadi formalitas di atas kertas.
Konflik kepentingan tidak hanya terjadi pada level direksi, tetapi juga di tingkat manajerial dan operasional. Misalnya, dalam proses pengadaan barang atau perekrutan karyawan, kepentingan pribadi sering kali menyusup ke dalam kebijakan perusahaan. Jika tidak dikontrol, hal ini dapat menimbulkan ketidakadilan dan memperburuk kultur organisasi. Oleh karena itu, perusahaan perlu membangun mekanisme pelaporan yang aman dan transparan. Ini menjadi bagian penting dari sistem pengendalian internal berbasis hukum.
Peran dewan komisaris dalam sistem pengawasan juga sangat penting untuk mencegah konflik kepentingan. Mereka bertugas mengawasi kebijakan yang diambil oleh direksi, serta menilai potensi konflik dalam setiap keputusan strategis. Sayangnya, dalam banyak kasus, peran komisaris hanya dijalankan secara simbolis tanpa kekuatan intervensi yang memadai. Padahal, jika dijalankan dengan benar, pengawasan dari komisaris bisa menjadi benteng pertahanan pertama. Hal ini tentu memerlukan dukungan hukum yang kuat dan independen.
Untuk memastikan pencegahan berjalan efektif, perusahaan juga harus melakukan sosialisasi dan pelatihan tentang etika bisnis. Pelatihan ini harus diberikan secara rutin kepada seluruh karyawan, bukan hanya kepada manajemen. Dengan memahami hukum dan etika, individu dalam perusahaan akan lebih waspada terhadap potensi benturan kepentingan. Hukum perusahaan tidak akan efektif jika tidak disertai dengan pemahaman yang menyeluruh dari seluruh elemen organisasi. Maka, investasi pada edukasi hukum menjadi strategi jangka panjang.
Selain edukasi, implementasi teknologi juga dapat membantu dalam mendeteksi konflik kepentingan. Perusahaan dapat menggunakan sistem berbasis digital untuk mencatat dan menganalisis pola transaksi atau keputusan yang tidak wajar. Dengan bantuan teknologi, pelacakan terhadap potensi penyimpangan bisa dilakukan lebih cepat dan akurat. Namun, penggunaan teknologi harus tetap tunduk pada regulasi dan prinsip kehati-hatian. Tanpa pengawasan hukum, teknologi bisa disalahgunakan atau menjadi alat diskriminasi.
Salah satu kelemahan dalam sistem hukum perusahaan di Indonesia adalah lemahnya perlindungan terhadap pelapor pelanggaran atau whistleblower. Padahal, pelapor adalah sumber informasi penting untuk mengungkap konflik kepentingan yang tersembunyi. Banyak karyawan takut melapor karena khawatir terhadap balasan atau intimidasi. Oleh karena itu, sistem hukum harus memberikan jaminan perlindungan yang jelas dan tegas. Tanpa keberanian untuk melapor, maka kebocoran etika akan terus berulang.
Selain itu, penguatan sistem sanksi juga harus menjadi prioritas dalam reformasi hukum perusahaan. Sanksi yang lemah atau tidak dijalankan hanya akan memberi ruang bagi pelanggaran untuk terus terjadi. Perusahaan harus memastikan bahwa pelanggaran konflik kepentingan tidak hanya ditindak secara administratif, tetapi juga secara hukum pidana atau perdata jika perlu. Ini memberikan efek jera dan mempertegas bahwa hukum adalah bagian dari budaya perusahaan. Penegakan hukum yang konsisten akan memperkuat kepercayaan pemangku kepentingan.
Kasus-kasus besar seperti Jiwasraya dan Garuda Indonesia menjadi contoh nyata bagaimana konflik kepentingan dapat menghancurkan reputasi perusahaan. Kedua kasus tersebut menunjukkan bahwa absennya pengawasan hukum yang ketat memberi ruang bagi manipulasi dan penyalahgunaan wewenang.
Hal ini menunjukkan bahwa hukum perusahaan harus berjalan aktif, bukan reaktif. Pencegahan jauh lebih efektif daripada penindakan ketika kerugian sudah terjadi. Maka, membangun sistem hukum yang kuat adalah kunci keberlanjutan perusahaan.
Perusahaan yang ingin tumbuh secara berkelanjutan harus menjadikan hukum sebagai bagian dari strategi bisnis, bukan sekadar kewajiban administratif. Hal ini berarti setiap keputusan strategis harus dikaji dari sisi kepatuhan hukum dan potensi konflik kepentingannya.
Dengan demikian, hukum tidak hanya hadir setelah terjadi pelanggaran, melainkan menjadi alat navigasi sejak awal. Integrasi hukum dalam manajemen risiko akan memperkuat daya tahan perusahaan di tengah persaingan global. Ini sekaligus menciptakan budaya perusahaan yang sehat dan berbasis integritas.
Pemerintah juga memiliki tanggung jawab besar dalam menciptakan ekosistem hukum perusahaan yang kondusif. Regulasi yang tidak tumpang tindih, serta mekanisme pengawasan yang efektif akan sangat membantu korporasi dalam mengelola potensi konflik. Harmonisasi antara peraturan pusat dan daerah menjadi penting agar perusahaan tidak mengalami kebingungan hukum. Selain itu, dukungan terhadap program edukasi hukum di kalangan pelaku usaha harus diperluas. Dengan sinergi antara pemerintah dan sektor swasta, konflik kepentingan dapat ditekan secara sistematis.
Selain regulasi yang jelas, transparansi menjadi aspek yang tidak kalah penting dalam mencegah konflik kepentingan. Perusahaan harus secara terbuka menyampaikan kebijakan dan keputusan yang diambil kepada pemegang saham dan publik. Hal ini tidak hanya membangun kepercayaan tetapi juga menciptakan budaya pengelolaan yang terbuka dan akuntabel. Dalam hal ini, peran dewan komisaris kembali penting untuk menjaga agar transparansi dapat terlaksana dengan baik. Tanpa transparansi yang memadai, perusahaan berisiko terjebak dalam praktik-praktik yang merugikan jangka panjang.
Banyak kasus konflik kepentingan yang terungkap karena adanya audit eksternal yang independen. Perusahaan yang tidak secara rutin diaudit cenderung lebih rentan terhadap praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Audit eksternal yang dilakukan oleh pihak yang tidak memiliki hubungan dengan manajemen internal sangat penting. Dengan begitu, potensi konflik kepentingan bisa terdeteksi lebih awal. Fungsi pengawasan ini memberikan lapisan perlindungan ekstra bagi kepentingan perusahaan dan pemangku kepentingan lainnya.