Kondisi kebatinan yang dihadapi oleh Mahfud bisa saja dijadikan patokan kondisi kabinet sekarang. Mengingat dalam susunan kabinet terhimpun seluruh kekuatan yang saling berkontestasi dalam pilpres kali ini.
Siapa yang bisa menebak suasana kebatinan Mahfud? Mungkin terlalu prematur untuk melihat gambaran suasana kabinet hanya didasarkan pada pilihan politik Mahfud.
Peribahasa mengajarkan, “angin tak dapat ditangkap, asap tak dapat digenggam” (rahasia tidak selamanya dapat disembunyikan, akhirnya akan terbuka juga).
Sebelum Mahfud mundur, sudah ada desas-desus tentang beberapa menteri yang konon akan mundur dari kabinet. Belum lama juga, Mensos Tri Rismamaharini juga menyiratkan keberatannya tentang kondisi kabinet terkait bansos.
Walaupun kabar miring itu bisa dinetralisir, namun bau tidak sedap dari dapur Istana sepertinya sedang dan akan selalu berhembus.
Ditambah lagi dengan mundurnya salah seorang Deputi Kepala Staf Kepresidenan dengan alasan yang eksplisit: “tidak ingin dipersepsikan sebagai beban politik presiden karena memiliki pilihan politik yang berbeda”.
Mundurnya Mahfud menjadi perdebatan hangat antara batasan etika bernegara atau hanya bagian strategi pemenangan elektoral.
Ada yang menilai mundurnya Mahfud sudah terlambat dan hanya berlindung di balik retorika etika. Mahfud dituding hanya ingin membangun citra positif di sisa waktu sebelum pencoblosan.
Pernyataan tersebut tentu saja beralasan. Seandainya Mahfud menentukan pilihan mundur sejak awal pencalonan, mungkin pernyataan itu tidak akan keluar.
Namun begitulah cara kerja politik. Apapun pilihan yang diambil oleh politisi merupakan langkah problematik. Akan selalu ada yang menyalahkan.
Hans J. Morgenthau dalam artikelnya, “The Evil of Politics and the Ethics of Evil” menjelaskan bahwa tindakan politik seorang memiliki potensi untuk menjadi tidak bermoral jika berakibat negatif terhadap kebanyakan orang.