Wajah Demokrasi Kita
“SIAPA yang ngasih duit, itulah yang saya pilih” begitu banyak kedengaran oleh saya suara-suara di kampung bahkan dipelosok Dusun. Entah orang-orang ini sekedar bercanda atau memang demikian adanya, yakni demikianlah wajah dan warna masyarakat kita dalam berdemokrasi. Ada juga yang nyeletuk: “Dak sapelah caleg yang ngasih duit, jadi ko dak mileh” ada juga yang bersuara demikian. “Ko mileh si A, karena dia ngasih lebih besar, sedangkan si B ngasihnya kecil” ada juga yang nyeletuk demikian. “Si A ngasih mukena, lumayan bagus. Sedangkan si C cuma ngasih kaos tipis, pacak kek meres kelapa” celetukan Mak-Mak tak mau kalah. “Ko lom tau aben kek mileh siapa, mesege banyak igak calon e, gale-gale calon ade ke rumah gale” Mak yang lain tak mau kalah juga.
Jika demikian ini bukan sekedar bahan obrolan belaka, berarti Pemerintah dan para penyelenggara Pemilu bertahun-tahun masih gagal dalam mendidik masyarakat bagaimana harusnya kewajiban seorang warga negara, yakni memilih. Selanjutnya tugas pemerintah, aparat, akademisi, tokoh masyarakat, tokoh agama adalah memberikan pencerahan agar masyarakat memilih bukan karena oleh-oleh (pemberian) apalagi umumnya menjual fhotocopy KTP agar didata. Sebab, tak sedikit saya menyaksikan mahasiswa maupun sarjana yang merupakan kaum terpelajar menjadi Timses “Calo Data” atau “Calo Suara” justru di kampung-kampung dan ditengah masyarakat kecil, mereka dimintakan KTP, didata dan diarahkan rakyat kecil memilih ini dan itu. Ternyata, wajah demokrasi kita standartnya masih begini. Makanya tak terlalu banyak berharap bahwa Pemilu akan menghasilkan yang terbaik, namun harus tetap optimis bahwa diantara itu ada yang terbaik. Sebab tidak mungkin semuanya buruk apalagi semuanya baik.
Kembali pada kemerdekaan dalam menentukan pilihan harus menjadi bagian penting bagi penyelenggara Pemilu disampaikan ditengah masyarakat. Merdeka dalam memilih artinya menentukan pilihan tidak karena diarah-arahkan, tidak karena pemberian, tidak karena intimidasi atau diatur-atur. Kepada pemilih (rakyat) disampaikam bahwa dalam demokrasi seperti Pemilu itu kita boleh menerima siapa saja dan apa aja, tapi soal dibilik suara, kita harus merdeka. Kenapa saya katakan menerima apa aja? Sebab ketimbang banyak aturan, nyata terlalu banyak juga pelanggaran dan tak ada hukum pula yang ditegakkan. Lebih baik peraturan dilonggarkan, rakyat berpesta, tapi dididik kemerdekaannya. Bahkan kepada rakyat terserah mereka menerima uang atau barang, toh itu hak anda sebagai rakyat, namanya juga diberi bukan diminta. Tapi soal pilihan tetaplah MERDEKA!
Sebab, dibilik suara (TPS), tak ada CCTV, tak ada kamera, tak ada ketakutan, tak ada arah-arahan menentukan pilihan, yang pasti coblos sesuai hati nurani alias mana yang diyakini membawa kebaikan pada negeri dan kebermanfaatan pada rakyat.