Menurut Yasir, pengelola Mangrove Munjang, penggemukan Kepiting merupakan salah satu pendapatan bagi kawasan pembibitan ini. Penggemukan ini sebuah opsi yang efektif karena kepiting bagian dari ekosistem hutan mangrove, sehingga Kepiting tersebut merasa di habitatnya.
Yang juga menarik di sini pakan untuk penggemukan Kepiting didapat dari hasil limbah pabrik rumahan Getas yang terkenal di desa Kurau. Saya berfikir ini merupakan simbiosis yang baik. Biasanya limbah sisa pabrik terbuang dan menghasilkan aroma yang mencemari udara, namun di tangan para pengelola Mangrove Munjang menjadi sesuatu yang bermanfaat. Bayangkan hanya dengan 10 hari Kepiting yang dibeli dengan harga Rp. 70.000/kg, dapat dijual hingga harga Rp. 130.000/kg, hanya bermodalkan pakan dari limbah pabrik Getas.
Tak hanya Kepiting, saya juga diperlihatkan beberapa tambak Udang dalam skala kecil berdiameter 15 meter. Menurut Yasir Udang juga merupakan salah satu habitat Mangrove yang potensial di kembangkan dan memiliki nilai jual yang baik. Hasil dari pengembangan usaha berupa penggemukan dan budidaya Udang merupakan salah satu penopang operasi Mangrove Munjang. Saya berfikir seandainya ada banyak pihak atau kelompok yang bergerak seperti pengelola Mangrove Munjang mungkin Bangka Belitung tidak akan mengalami kerusakan hutan Mangrove. Karena ternyata Mangrove itu memberikan banyak manfaat yang bernilai ekonomi.
Hal menarik lainnya yang disampaikan Yasir soal Mangrove Munjang, ternyata tempat ini sebagai laboratorium alam. Karena tempat ini menjadi destinasi bagi anak-anak sekolah yang study tour. Tak hanya anak-anak sekolah bahkan instansi dan wakil rakyat pun kerap melakukan study banding, guna mempelajari cara pengembang-biakan dan pembibitan Mangrove. Namun sayang, pandemi covid selama 2 tahun menghajar tempat ini, hingga akhirnya sepi pengunjung.