Menurut laporan World Economic Forum (2020), sekitar 23% pekerjaan di Indonesia berisiko tergantikan oleh otomatisasi dalam dekade mendatang, terutama pekerjaan yang bersifat manual dan repetitif. Sektor manufaktur, yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia, menghadapi risiko paling besar. Contoh nyata adalah industri otomotif, di mana proses produksi semakin banyak dilakukan oleh robot.
Meski otomatisasi kerap dipandang sebagai ancaman, teknologi ini justru membuka berbagai peluang baru yang menjanjikan di dunia kerja. Munculnya lapangan kerja berbasis teknologi telah menciptakan posisi-posisi baru seperti pengembang aplikasi, analisis data, spesialis media sosial, dan teknisi pemeliharaan robot industri. Profesi-profesi ini tidak hanya menawarkan prospek karir yang lebih baik, tetapi juga pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan pekerjaan tradisional.
Dari segi produktivitas, otomatisasi telah terbukti meningkatkan efisiensi kerja secara signifikan. Penggunaan mesin dan sistem otomatis memungkinkan proses produksi berjalan lebih cepat dengan tingkat kesalahan yang minimal. Hal ini tidak hanya menguntungkan perusahaan dalam hal pengurangan biaya operasional, tetapi juga memberi kesempatan bagi pekerja untuk fokus pada tugas-tugas yang lebih strategis dan kreatif yang tidak bisa digantikan oleh mesin.
Lebih lanjut, era otomatisasi membuka peluang besar untuk peningkatan keterampilan atau upskilling bagi para pekerja tradisional. Mereka yang bersedia beradaptasi dapat mengikuti berbagai program pelatihan untuk menguasai keterampilan digital dan teknologi baru. Misalnya, seorang kasir tradisional bisa berkembang menjadi spesialis e-commerce, atau seorang pekerja pabrik dapat beralih menjadi operator mesin otomatis yang terlatih.
Transformasi pekerjaan tradisional menjadi lebih modern juga memberikan nilai tambah pada sektor-sektor konvensional. Sebagai contoh, petani tradisional kini dapat memanfaatkan teknologi pertanian presisi untuk meningkatkan hasil panen, pedagang pasar tradisional dapat memperluas jangkauan bisnis mereka melalui platform digital, dan pengrajin dapat memasarkan produk mereka ke pasar global melalui e-commerce. Perubahan ini tidak menghilangkan esensi pekerjaan tradisional, tetapi justru membuatnya lebih efisien dan kompetitif di era modern.
Transisi menuju era otomatisasi menghadirkan berbagai tantangan adaptasi yang signifikan, terutama bagi pekerja sektor tradisional. Kesenjangan keterampilan digital menjadi hambatan utama dalam proses adaptasi ini. Banyak pekerja tradisional, khususnya generasi yang lebih senior, mengalami kesulitan dalam memahami dan mengoperasikan teknologi baru. Situasi ini menciptakan jurang digital yang semakin lebar antara pekerja yang melek teknologi dan yang masih bergantung pada metode konvensional.
Kebutuhan akan pelatihan dan pendidikan ulang menjadi semakin mendesak, namun pelaksanaannya tidak selalu mudah. Faktor biaya, waktu, dan aksesibilitas menjadi kendala utama. Bagi pekerja yang telah berkeluarga atau memiliki tanggungan finansial, mengambil waktu untuk mengikuti program pelatihan seringkali menjadi dilema tersendiri. Selain itu, tidak semua daerah memiliki fasilitas pelatihan yang memadai, terutama di wilayah luar atau daerah terpencil.
Resistensi terhadap perubahan juga menjadi tantangan yang tidak kalah pelik. Banyak pekerja tradisional yang merasa terancam dan menolak untuk beradaptasi dengan teknologi baru. Penolakan ini seringkali berakar dari rasa takut akan kegagalan, ketidakpastian masa depan, atau keengganan untuk keluar dari zona nyaman. Mindset semacam ini dapat menghambat proses transformasi digital dan membuat pekerja semakin tertinggal dalam persaingan pasar kerja.
Masalah sosial ekonomi yang timbul akibat proses adaptasi ini juga tidak bisa diabaikan. Banyak pekerja yang mengalami penurunan pendapatan selama masa transisi, sementara beberapa bahkan kehilangan pekerjaan karena tidak mampu beradaptasi. Kondisi ini dapat memicu ketegangan sosial dan kesenjangan ekonomi yang lebih lebar dalam masyarakat. Keluarga-keluarga yang bergantung pada sektor pekerjaan tradisional mungkin mengalami tekanan finansial yang signifikan selama proses adaptasi ini berlangsung.
Menghadapi tantangan otomatisasi, program pelatihan dan pengembangan SDM menjadi solusi kunci yang harus diprioritaskan. Pemerintah, swasta, dan lembaga pendidikan perlu berkolaborasi dalam menyediakan program pelatihan yang terjangkau dan relevan dengan kebutuhan industri. Program-program ini sebaiknya dirancang secara bertahap dan praktis, misalnya dengan mengkombinasikan pembelajaran daring dan tatap muka, sehingga memudahkan pekerja tradisional untuk mengikutinya tanpa harus meninggalkan pekerjaan mereka sepenuhnya.