Oleh: AHMADI SOFYAN
Budayawan Bangka Belitung
CDN. BABEL- BANYAK orang kehilangan akarnya ketika ia sudah menjadi seseorang, tapi tidak dengan Tarmizi Saat alias Bujoi.
SEJAK masa kanak-kanak, saya mengenal sosok Bujoi. Maklumlah, selain sekampung, kami masih memiiki ikatan keluarga. Kekeluargaan itu sangat erat, karena H. Saat Asir (Orangtua Bujoi/Tarmizi) dengan H. Supian Azhari (orangtua penulis) hingga akhir hayat keduanya sahabat kental, bahkan pernah saya melihat mereka berdua menangis bareng ketika sedang pembangunan Masjid Rahmatuddin Desa Kemuja. Seringkali saya melihat keduanya duduk berdua diteras rumah kami di samping Masjid besar itu. Ketika orangtua saya meninggal dunia pada Januari 2024, Bujoi pula yang saya minta untuk memberikan sambutan. Saat Bujoi menjadi Bupati, ia kerapkali datang ke kediaman orangtua saya untuk sekedar ngobrol atau menjenguk kala sakit. Ia datang sebagai Bujoi, bukan sebagai Bupati. Tanpa ajudan, tanpa sopir ia berjalan kaki dari rumah orangtuanya menuju kediaman orangtua saya. Pernah suatu ketika, saya pulang ke rumah yang rada sepi. Tapi didalam kamar orangtua saya terdengar obrolan kecil, saya melewati begitu saja kamar orangtua saya dan langsung ke dapur menemui kakak perempuan saya di dapur. Kepada kakak perempuan, saya menanyakan siapa didalam kamar Bak (Bapak), kayak ada yang ngobrol sama Bak? Lantas kakak saya menjawab: “Bupati, Bujoi”. Begitulah sosok Bujoi yang sangat bersahaja dan tidak pernah kehilangan akar sebagai orang kampung yang tetap berkarakter kampung alias sama sekali “dak taipau” apalagi “taipau begereng”.
Mengenal Bujoi sejak masa kanak-kanak, kala itu ia adalah salah satu pemuda Desa Kemuja yang menjadi sorotan orang kampung. Ia baru bertitel Insinyur dari Yogyakarta, ramah, pandai bergaul, berasal dari keturunan terpandang, aktif berkegiatan di Masjid, Pesantren Al-Islam dan kegiatan-kegiatan Desa, namun tetap bekerja sebagaimana orang kampung, yakni menyadap karet, berkebun, kuli (kernet truk ngangkut karet) dan lain sebagainya. Ketika bulan Ramadhan seperti sekarang ini, saya teringat, Bujoi kerapkali sahur bersama di kediaman kami. Saya tidak pernah ngobrol sebab berbeda umur yang cukup jauh. Hanya sekilas lalu saja berinteraksi dengan sosok Bujoi yang hampir tiap malam ada di kediaman orangtua saya.