Akhirnya, nilai bansos tidak lebih sebagai upaya negara mengikat warganya dalam ikatan pamrih dan kepentingan yang rawan penyelewengan politik oligarki. Jadi jangan heran ketika kemiskinan menjadi alat yang paling efektif bagi oligarki untuk melanggengkan alat kekuasaan mereka dalam setiap Pemilu.
Jika saja rakyat mampu dicerahkan oleh kaum intelektual, akademisi, tokoh agama & masyarakat, bahwa memilih adalah kemerdekaan, di TPS itu tak ada CCTV, pilihlah karena nurani, bukan karena sesuatu yang diberi, sedikit demi sedikit akan tercerahkan bagi pemahaman masyarakat tentang demokrasi. Namun hal ini sangat tidak disukai oligarki. Mereka-mereka yang punya intelektual, ketokohan di masyarakat, justru lebih dulu dibeli. Hehehehe…..
Makanya saya sering katakan kepada kawan-kawan & langsung ke masyarakat: “Ambil yang diberi, ambil Bansos-nya, ambil pengobatan gratisnya, tapi jangan ikuti pilihan dan arahannya”. Sebab jika oligarki sudah memberi, namun pemberian itu ternyata tidak efektif, kekuasaan tak mampu dipertahankan, maka dipastikan itulah yang sangat menakutkan.
Prinsip rakyat, jangan menghargai suara dengan pemberiaan yang gak seberapa, apalagi hanya oleh sembako. Suara rakyatlah yang mampu merubah oligarki oleng kanan kiri sebab rakyat punya pilihan tanpa mau diarah-arahkan. Tapi kalau rakyat memang senang pada permainan oligarki, kekayaan alam Indonesia terus dikeruk, rakyat hanya diberi Bansos, BLT dan saat Pemilu suara dibeli sekian puluh & ratusan ribu, selamat menikmati. Kaum intelek, tokoh masyarakat, kalau tak kuat miskin, bersiap-siap jadi penjilat. Tapi makan siang gratis kok, makan malam dan sarapan pagi plus kopi serta biaya anak sekolah & sebagainya, itu cari sendiri.
Selamat Berpesta Oligarki!!
(Kebun Tepi Sungai, 11/02/2024)
===