Adhitya, Calon Polisi Masuk Islam di Usia Dini

oleh

Selanjutnya Ibu Sumaryani berkonsultasi dengan Pak Fitriansyah, Guru Agama SDN 33 Tanjung Pandan Belitung. Akhirnya dengan diketahui dan seizin Pak Sairin selaku Kepala Sekolah, Ibu Sumaryani dan Pak Fitriansyah berniat menemui langsung ibu kandung Adhitya, Herti Sirait. Lantas Ibu Sumaryani mendatangi Pak Eko dari Baznas Belitung. Kepada Pak Eko, Ibu Sumaryani menceritakan tentang keinginan anak didiknya bernama Adhitya yang usianya masih sangat belia. Atas saran Pak Eko, Ibu Kandung Adhitya harus membuat Surat Pernyataan sebab anaknya masih dibawah tanggungjawab orangtua. Selain itu pihak sekolah juga mengeluarkan Surat Pernyataan bahwa Adhitya adalah benar siswa SD Negeri 33 Tanjung Pandan Belitung. Kedua surat ini pun didapatkan oleh Ibu Sumaryani dengan mudah guna mempercepat proses memenuhi keinginan Adhitya memeluk Islam. Sang Ibu Herti Sirait tidak keberatan untuk anak kesayangannya ini berpindah agama dan dirinya beserta kakak-kakak dan adik Adhitya tetap berpegang pada agama yang berbeda dengan agama yang dianut oleh Adhitya.

Melihat kegigihan Adhitya untuk memeluk agama Islam, Ibu Sumaryani pun meminta bantuan pihak Baznas Belitung. “Setiap hari saya ditanya, kapan ia diislamkan, kapan disunat” cerita Ibu Sumaryani kepada Penulis di kediamannya di SD Negeri 33 Tanjung Pandan Belitung. Akhirnya, Kamis, 21 Maret 2023 (10 Ramadhan 1445 H), Adhitya resmi disunat oleh seorang Mantri bernama Pak Wandi dengan tanpa dipungut biaya alias gratis. Ada cerita unik sebelum dan saat di sunat. Saat waktu sunat terjadwal, Adhitya hari itu tidak berpuasa. Jadwal “pemotong ujung burung” ini dijadwalkan pagi hari, namun tiba-tiba Pak Wandi selaku “eksekutor” tidak bisa sebab anaknya masuk rumah sakit dan harus operasi. Adhitya gelisah dan resah. Akhirnya dijadwalkan hari itu juga pada siang harinya. Karena Adhitya sudah demikian gelisah dan resah, oleh Ibu Sumaryani dan kawan-kawan Baznas mengajak Adhitya jalan-jalan biar waktu terasa cepat berjalan. Sebab Adhitya sangat khawatir kalau hari itu penyunatan dirinya harus batal.

Akhirnya, sesuai yang dijanjikan oleh Pak Wandi, proses sunat Adhitya berlangsung. Saat disuntik, Adhitya berteriak: “Allahu Akbar, ya Allah… sakit” mendengar ini Ibu Sumaryani menangis haru melihat anak didiknya dalam proses menuju Islam. Salah satu Cleaning Service di Baznas Belitung lantas memeluk Adhitya dan mengajaknya ngobrol serta berkelakar agar Adhitya sejenak terobati rasa sakit yang ia rasakan. Proses penyunatan tersebut pun selesai dan Adhitya sangat bahagia sebab dirinya sebentar lagi resmi masuk ke agama Islam yang ia impikan.

 

Keikhlasan Sang Ibu

SAAT menemui Ibu Herti Sirait, yang sebelumnya kami komunikasi via telpon, awalnya Penulis sempat ngerasa salah orang. “Maaf, yang namanya Ibu Herti Sirait, mana ya?” tanya Penulis kepada perempuan berjilbab yang sedang sibuk membungkus potongan ayam guna melayani pelanggan. Di dekat gerobak tersebut ada 3 perempuan berjilbab dan 1 pria. Lantas sang perempuan berjilbab yang kelihatan paling senior dan sibuk melayani pelanggan tadi menjawab: “Iya saya”. Penulis mengerutkan dahi, sebab perempuan ini menggunakan jilbab, sebagaimana muslimah.

Selanjutnya Penulis duduk di emperan berbangku kardus guna ngobrol dengan Ibu Herti Sirait. Kepada Penulis, Ibu Herti menceritakan kehidupan keluarganya, terutama tentang sosok Adhitya. Herti Sirait bersama keluarga hijrah ke Tanjung Pandan Belitung sejak 7 tahun silam. “Di Belitung ini kan mayoritas muslim, saya dan anak-anak saya memang pergaulannya dengan orang-orang Islam. Jadi bukan hal yang asing soal Islam dimata anak-anak saya” ujarnya. “Saya sendiri memakai jilbab, karena ngerasa nyaman dan aman saja. Apalagi saya kerja di warung, jadi lebih terjaga, nggak khawatir rambut jatuh ke makanan” ungkapnya guna menjawab keheranan saya bahwa dirinya pakai jilbab. “Saya dan keluarga penganut Penghayatan Kepercayaan” ujarnya kepada Penulis.

Herti Sirait nampaknya sosok ibu tangguh pekerja keras. Tanpa suami (single parent) ia harus menghidupi 6 orang anaknya. “Saya kerja dari setelah Subuh sampai Tengah malam, ya gimana lagi, waktu habis buat nyari nafkah demi anak-anak. Jadi saya bukan nggak perhatian sama anak-anak, sebab harus nyari nafkah buat mereka juga” ujar Ibu Herti lirih. Menurut Herti, lingkungan dan pergaulan sangat memiliki pengaruh pada kehidupan anak-anaknya. “Semua anak-anak saya belajar tentang Islam, sebab memang berada di lingkungan Islam, tapi mereka nggak berminat masuk Islam, kecuali Adhitya yang memang ngotot sejak dulu” ceritanya. “Apakah ibu tidak melarang? Bukankah Adhitya masih dalam tanggungjawab ibu?” tanya Penulis. “Maaf Pak ya, awalnya saya melarang, sebab dia masih kecil. Saya nggak mau dia ikut-ikutan saja. Agama bukan buat main-main, makanya Ketika Adhitya sudah ngotot, saya minta ada pembimbing. Saya minta gurunya bisa membimbing Adhitya” ungkap Ibu Herti penuh harap.

Bagaimana tanggapan kakak-kakak mengetahui adiknya masuk Islam? Menurut Herti, kakak-kakaknya mempertanyakan keseriusan Adhitya. “Sudah yakin, kau?” tanya kakaknya. “Jangan main-main kau, harus serius, agama bukan buat main-main” begitulah menurut Herti nasehat dari kakak-kakaknya kepada Adhitya. Selain kemandirian dan ketangguhan, keluarga tanpa keberadaan sosok ayah ini benar-benar keluarga yang sangat harmoni dalam perbedaan. Memiliki kedewasaan dalam pola pemikiran bahkan pada pilihan agama yang berbeda diantara yang lainnya.

Di antara anak-anaknya yang lain, Adhitya memang sedikit berbeda. Padahal soal lingkungan pergaulan dan lingkungan pendidikan, kakak-kakak dari Adhitya juga mengalami hal yang sama. Namun dalam diri Adhitya yang dikenal tegas dan punya prinsip diusia belia ini ternyata sangat lama ingin memeluk agama Islam. Menurut sang ibu tercinta, Herti Sirait, Adhitya sosok anak yang memang sudah merasa Islam walau berada ditengah keluarga yang tidak memeluk agama Islam. “Saya dulu heran, Pak. Dia pulang sekolah sore, terus mandi dan pakai pakaian rapi busana muslim. Saya tanya, mau kemana? Jawabnya mau ke Masjid sholat maghrib?” cerita Herti kepada Penulis disela-sela melayani pelangggan membeli potongan ayam gorengnya di gerobak Ayam Geprek di Jalan Gatot Subroto Tanjung Pandan.

Herti juga menceritakan bahwa Adhitya sejak sebelum masuk Islam sudah merasa dirinya Islam. “Dia puasa, sholat dan ikut temannya pengajian. Mungkin karena pergaulan ini membuat ia tertarik masuk Islam” ucap Herti Sirait.

 

Calon Polisi, Bersyahadat Pada 17 Ramadhan 1445 H

“ADHITYA cita-citanya jadi apa?” pertanyaan Penulis langsung dijawab cepat dan tegas: “Jadi Polisi” jawab Adhitya. Ternyata kakak-kakak Adhitya juga memiliki cita yang sama. Mutiara Sitorus yang kini duduk di SMK Negeri 1 Tanjung Pandan bercita-cita menjadi Polwan. “Tapi Mutiara nggak pede” cerita Herti. Lalu Andre Sitorus yang saat ini adalah siswa SMK Negeri 2 Tanjung Pandan berharap kelak bisa menjadi Tentara.

Hari ini, Kamis, 17 Ramadhan 1445 H (28 Maret 2024), bertempat di Kantor Urusan Agama (KUA) Tanjung Pandan Belitung, Adhitya yang masih berusia 9 tahun itu berikrar mengucapkan dua kalimah syahadat. Dengan didampingi sang guru tercinta, Ibu Sumaryani dan beberapa orang lainnya. Akhirnya, keringinan berupa impian besar murid kelas 3 SD Negeri 33 Tanjung Pandan ini tercapai, setelah sebelumnya disunat. Adhitya nampaknya semakin semangat untuk sholat, puasa dan mengaji serta menguatkan hafalan shalawat yang selama ini sudah ia lakukan.

No More Posts Available.

No more pages to load.