Perilaku rakyat berdemokrasi dalam Pemilu adalah awal dari ketidakberesan tatanan pemerintahan sebagaimana yang kita harapkan. Mereka yang duduk bukanlah selalu yang terbaik dan yang tidak terpilih bukanlah selalu yang terburuk. Jangan heran jika Wakil Rakyat kita tidak berkualitas, tidak berintegritas, sebab rakyat memilih mereka berdasarkan isi tas. “Mun dak ngasih ape lah, paet kek mileh e” begitulah umum terdengar suara rakyat menjelang Pemilu. “Ade uang ade suara” demikian istilahnya. “Siapa yang ngasih, itulah yang kupilih” slogan itu menjadi trade mark rakyat saat menjelang Pemilu. Akhirnya Wakil Rakyat yang terpilih jauh dari kualitas pemahaman tentang kedaerahan, kebangsaan maupun wewenang serta kewajiban. Rakyat sendiri yang mendidik Wakil Rakyat adanya seperti itu.
Berulang dan selalu berulang, kala 1 tahun menjelang Pemilu, para Wakil Rakyat baru turun kembali nemui rakyatnya (konstituen di Dapil-nya). Lantas dengan garang dan judesnya, rakyat berkata: “Udeh Pemilu kemaren baru Pemilu sekarang pulik die nyengol (nongol)”. Bagi saya ya jelas, tidak melulu rakyat benar, sebab rakyat sendiri yang menabuh gendang, para Wakil Rakyat tinggal menari saja sesuai irama tabuhan gendang rakyat.
Tulisan ini tidak untuk membela Wakil Rakyat, toh saya juga bukan dan tidak pernah (semoga tidak akan pernah) menjadi Wakil Rakyat. Toh, Pemilu 2024 ini kita belum tahu siapa yang bakal jadi Wakil Rakyat, toh saya juga tidak nyalon, jadi gak mungkin ada dalam barisan para Wakil Rakyat terpilih. Yang sudah pasti posisi saya adalah dari sejak lahir sampai sekarang adalah Rakyat. Tulisan ini hanya ingin menempatkan bahwa perilaku Wakil Rakyat yang sangat tidak kita harapkan itu terjadi akibat perilaku rakyat sendiri disaat memilih.
Kalau kita memilih seseorang menjadi Wakil kita di Parlemen, tidak menilai dari kualitas dirinya, pendidikannya, pemahamannya tentang kebangsaan & kedaerahan, jaringannya guna menumbuhkan pembangunan, maka jangan harap akan duduk orang-orang berkualitas dalam gedung Parlemen. Dari sekian banyak, hanya segelintir orang dan mereka akhirnya turut serta menjadi tidak berkualitas.
Akibat rakyat memilih karena pemberiannya, maka bersiaplah kecewa sebab pemberian itu tidak akan pernah membuat kita rakyat kaya raya. Pemberian itu sekedar perkenalan belaka, bukan untuk diri rakyat menjadi hamba yang memberi. Janji-janji Wakil Rakyat tak dipenuhi, bisa jadi selain menganggap sudah membeli, mereka sudah merasakan bagaimana janji-janji rakyat akan memilih apalagi “calo suara” tidak sesuai dengan yang dijanjikan.